Mengikuti manhaj (jalan) Salafush Shalih (yaitu para Sahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Allah berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (denganmu). Maka Allah akan memeliharamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Baqarah: 137]
Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata: “Melalui ayat ini Allah menjadikan iman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolok ukur) untuk membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan kebathilan. Apabila Ahlul Kitab beriman sebagaimana berimannya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab) berpaling (tidak beriman) sebagaimana berimannya para Sahabat, maka mereka jatuh ke dalam perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh ...”
Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib; jadi mengikuti (manhaj) Sahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib (utama).”[1]
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepada-mu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam: 153]
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa jalan itu hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan jalannya ahli bid’ah. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jalan ini adalah ash-Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap Muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan mengantarkan kepada Allah Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah hanya SATU… Tidak ada seorang pun yang dapat sampai kepada Allah kecuali melalui jalan yang satu ini.[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa': 115]
Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum Mukminin sebagai sebab seseorang terjatuh ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan masuk Neraka Jahannam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin sedangkan jalannya kaum Mukminin pada ayat ini adalah keyakinan, perkataan dan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang yang beriman kecuali para Sahabat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepada-nya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah: 285]
‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu berkata :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَذَا سَبِيْلُ اللهِ مُسْتَقِيْمًا، وَخَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَشِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: هذِهِ سُبُلٌ ]مُتَفَرِّقَةٌ[ لَيْسَ مِنْهَا سَبِيْلٌ إِلاَّ عَلَيْهِ شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْلَهُ تَعَالَى: وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis dengan tangannya kemudian bersabda: ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda: ‘Ini adalah jalan-jalan yang bercerai-berai (sesat) tidak satupun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat syaithan yang menyeru kepadanya.’ Selanjutnya beliau membaca firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-berai-kan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.’” [Al-An’aam: 153][6]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ، وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ.
‘Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.’”[7]
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan tentang kebaikan dan keutamaan mereka, yang merupakan sebaik-baik manusia. Sedangkan perkataan ‘sebaik-baik manusia’ yaitu tentang ‘aqidahnya, manhajnya, akhlaknya, dakwahnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu mereka dikatakan sebaik-baik manusia.[8] Dalam riwayat lain disebutkan dengan kata (خَيْرُكُمْ) ‘sebaik-baik kalian’ dan dalam riwayat yang lain disebutkan (خَيْرُ أُمَّتِيْ)‘sebaik-baik ummatku.’
Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ اللهَ نَظَرَ إِلَى قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ.
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya dan Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para Sahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang untuk agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Mus-limin (para Sahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Sahabat Rasul) pandang buruk, maka di sisi Allah hal itu adalah buruk.”[9]
Dalam hadits lain pun disebutkan tentang kewajiban kita mengikuti manhaj Salafush Shalih (para Sahabat), yaitu hadits yang terkenal dengan hadits ‘Irbadh bin Sariyah, hadits ini terdapat pula dalam al-Arba’in an-Nawawiyyah (no. 28):
قَالَ الْعِرْبَاضُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu : “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah nasihat ini seakan-akan nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.”[10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan perselisihan pada ummatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[13]
Kembali ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan:
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَأَسِّياً فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا أَبَرَّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْباً، وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا، وَأَقْوَمَهَا هَدْيًا، وَأَحْسَنَهَا حَالاً، قَوْمٌ اِخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ نَبِيِّهِ وَِلإِقَامَةِ دِيْنِهِ، فَاعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ، وَاتَّبِعُوْهُمْ فِي آثَارِهِمْ، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى الْهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ.
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.”[14]
Imam al-Auza’i (wafat tahun 157 H) rahimahullah mengatakan:
اِصْبِرْ نَفْسَكَ عَلَى السُّنَّةِ، وَقِفْ حَيْثُ وَقَفَ الْقَوْمُ، وَقُلْ بِمَا قَالُواْ، وَكُفَّ عَمَّا كُفُّوْا عَنْهُ، وَاسْلُكْ سَبِيْلَ سَلَفِكَ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُ يَسَعُكَ مَا وَسِعَهُمْ.
“Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena ia akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.”[15]
Beliau rahimahullah juga berkata:
عَلَيْكَ بِآثَارِ مَنْ سَلَفَ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ لَكَ بِالْقَوْلِ.
“Hendaklah engkau berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah dirimu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.”[16]
Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H)rahimahullah berkata:
كَانُوْا يَقُوْلُوْنَ: إِذَا كَانَ الرَّجُلُ عَلَى اْلأَثَرِ فَهُوَ عَلَى الطَّرِيْقِ.
“Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (Sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.’” [17]
Imam Ahmad (wafat tahun 241 H) rahimahullah berkata:
أُصُوْلُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلإِقْتِدَاءُ بِهِمْ وَتَرْكُ الْبِدَعِ وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلاَلَةٌ.
“Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[18]
Jadi dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah meyakini bahwa kema’shuman dan keselamatan hanya ada pada manhaj Salaf. Bahwasanya seluruh manhaj yang tidak berlandaskan kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih adalah menyimpang dari ash-Shirath al-Mustaqiim, penyimpangan itu sesuai dengan kadar jauhnya mereka dari manhaj Salaf. Kebenaran yang ada pada mereka juga sesuai dengan kadar kedekatan mereka dengan manhaj Salaf. Sekiranya para pengikut manhaj-manhaj menyimpang itu mengikuti pedoman manhaj mereka, niscaya mereka tidak akan dapat mewujudkan hakekat penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana mestinya selama mereka jauh dari manhaj Salaf. Sekiranya mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan tidak berdasarkan pada manhaj yang lurus ini, maka janganlah terpedaya dengan hasil yang mereka peroleh itu. Karena kekuasaan hakiki yang dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah bagi orang-orang yang berada di atas manhaj Salaf ini. Janganlah kita merasa terasing karena sedikitnya orang-orang yang mengikuti kebenaran dan jangan pula kita terpedaya karena banyaknya orang-orang yang tersesat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa generasi akhir ummat ini hanya akan menjadi baik dengan apa yang menjadikan baik generasi awalnya. Alangkah meruginya orang-orang yang terpedaya dengan manhaj (metode) baru yang menyelisihi syari’at dan melupakan jerih payah Salafush Shalih. Manhaj (metode) baru itu semestinya dilihat dengan kacamata syari’at bukan sebaliknya.[19]
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
اِتَّبِعْ طُرُقَ الْهُدَى وَلاَ يَضُرُّكَ قِلَّةُ السَّالِكِيْنَ وَإِيَّاكَ وَطُرُقَ الضَّلاَلَةِ وَلاَ تَغْتَرْ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ.
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk (Sunnah), tidak membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan tersebut. Jauhkan dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah engkau tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.”[20]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
مَنْ عَدَلَ عَنْ مَذَاهِبِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَفْسِيْرِهِمْ إِلَى مَا يُخَالِفُ ذَلِكَ كَانَ مُخْطِئًا فِيْ ذَلِكَ، بَلْ مُبْتَدِعًا، وَإِنْ كَانَ مُجْتَهِدًا مَغْفُوْرًا لَهُ خَطَؤُهُ. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ الْقُرْآنَ قَرَأَهُ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ وَتَابِعُوْهُمْ، وَأَنَّهُمْ كَانُوْا أَعْلَمَ بِتَفْسِيْرِهِ وَمَعَانِيْهِ كَمَا أَنَّهُمْ أَعْلَمُ بِالْحَقِّ الَّذِى بَعَثَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ.
“Barangsiapa yang berpaling dari madzhab Sahabat dan Tabi’in dan penafsiran mereka kepada yang menyelisihinya, maka ia telah salah bahkan (disebut) Ahlul Bid’ah. Jika ia sebagai mujtahid, maka kesalahannya akan diampuni. Kita mengetahui bahwa Al-Qur-an telah dibaca oleh para Sahabat, Tabi’in dan yang mengikuti mereka, dan sungguh mereka lebih mengetahui tentang penafsiran Al-Qur-an dan makna-maknanya, sebagaimana mereka lebih mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah mengutus Rasul-Nya.”[21]
D. Perhatian Para Ulama Terhadap ‘Aqidah Salafush Shalih.
Sesungguhnya para ulama mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap ‘aqidah Salafush Shalih. Mereka menulis kitab-kitab yang banyak sekali untuk menjelaskan dan menerangkan ‘aqidah Salaf ini, serta membantah orang-orang yang menentang dan menyalahi ‘aqidah ini dari berbagai macam firqah dan golongan yang sesat. Karena sesungguhnya ‘aqidah dan manhaj Salaf ini dikenal dengan riwayat bersambung yang sampai kepada imam-imam Ahlus Sunnah dan ditulis dengan penjelasan yang benar dan akurat.
Adapun untuk mengetahui ‘aqidah dan manhaj Salaf ini, maka kita bisa melihat:
Pertama, penyebutan lafazh-lafazh tentang ‘aqidah dan manhaj Salaf yang diriwayatkan oleh para Imam Ahlul Hadits dengan sanad-sanad yang shahih.
Kedua, yang meriwayatkan ‘aqidah dan manhaj Salaf adalah seluruh ulama kaum Muslimin dari berbagai macam disiplin ilmu: Ahlul Ushul, Ahlul Fiqh, Ahlul Hadits, Ahlut Tafsir, dan yang lainnya.
Sehingga ‘aqidah dan manhaj Salaf ini diriwayatkan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu secara mutawatir.
Penulisan dan pembukuan masalah ‘aqidah dan manhaj Salaf (seiring) bersamaan dengan penulisan dan pembukuan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pentingnya ‘aqidah Salaf ini di antara ‘aqidah-‘aqidah yang lainnya, yaitu antara lain:[22]
1. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini, seorang Muslim akan meng-agungkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, adapun ‘aqidah yang lain karena mashdarnya (sumbernya) hawa nafsu, maka mereka akan mempermainkan dalil, sedang dalil dan tafsirnya mengikuti hawa nafsu.
2. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini akan mengikat seorang Muslim dengan generasi yang pertama, yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhum yang mereka itu adalah sebaik-baik manusia dan ummat.
3. Bahwa dengan ‘aqidah Salaf ini, kaum Muslimin dan da’i-da’inya akan bersatu, sehingga dapat mencapai kemuliaan serta menjadi sebaik-baik ummat. Hal ini karena ‘aqidah Salaf ini berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat. Adapun ‘aqidah selain ‘aqidah Salaf ini, maka dengannya tidak akan tercapai persatuan bahkan yang akan terjadi adalah perpecahan dan kehancuran.
Imam Malik rahimahullah berkata:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ اْلأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا.
“Tidak akan dapat memperbaiki ummat ini melainkan dengan apa yang telah membuat baik generasi pertama ummat ini (Sahabat)”[23]
4. ‘Aqidah Salaf ini jelas, mudah dan jauh dari ta’wil, ta’thil dan tasybih.[24] Oleh karena itu, dengan kemudahan ini setiap Muslim akan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan merasa tenang dengan qadha’ dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.
5. ‘Aqidah Salaf ini adalah aqidah yang selamat, karena Salafus Shalih lebih selamat, lebih tahu dan lebih bijaksana (aslam, a’lam, ahkam). Dengan ‘aqidah Salaf ini akan membawa kepada keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu berpegang pada ‘aqidah Salaf ini hukumnya wajib.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bashaa-ir Dzawii Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 53) karya Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[2]. Tafsiirul Qayyim libnil Qayyim (hal. 14-15).
[3]. Bashaa-ir Dzawii Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 54).
[4]. Bashaa-ir Dzawii Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 43).
[5]. Lihat Limaadza Ikhtartul Manhajas Salafi (hal. 86), oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[6]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/435, 465), ad-Darimy (I/67-68), al-Hakim (II/318), Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawy (no. 97), dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam As-Sunnah libni Abi ‘Ashim no. 17. Tafsir an-Nasa-i (no. 194). Adapun tambahan (mutafarriqatun) diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/435).
[7]. Muttafaq ‘alaihi. HR. Al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533 (212)) dan lainnya dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu. Hadits ini mu-tawatir sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (I/12), al-Munawi dalam Faidhul Qadiir (III/478) serta disetujui oleh al-Kattaany dalam kitab Nadhmul Mutanaatsiir (hal 127). Lihat Limaadzaa Ikhtartul Manhajas Salafi (hal. 87).
[8]. Limaadzaa Ikhtartul Manhajas Salafi (hal. 86-87).
[9]. HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’uz Zawaa-id (I/177-178). Diriwayatkan juga oleh al-Hakim (III/78), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX, no. 8582) dan al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah.
[10].HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Syaikh al-Albani juga menshahihkan hadits ini dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455).
[11]. HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimi (II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no. 150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 203-204).
[12]. HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343). Lihat Dar-ul Irtiyaab ‘an Hadiits maa Anaa ‘alaihi wa Ash-haabii oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Darur Rayah, th. 1410 H.
[13]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/69), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/96 no. 104), ath-Thabrani dalam Mu’jaamul Kabiir (no. 8770), dan Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah (no. 175).
[14]. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Baar dalam kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947 no. 1810), tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairi.
[15]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/174 no. 315).
[16]. Imam al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah (I/445, no. 127) dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluww lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 138), Siyar A’laamin Nubalaa’ (VII/120) dan Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1071, no. 2077).
[17]. HR. Ad-Darimi (I/54), Ibnu Baththah dalam al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqatin Naajiyah (I/356, no. 242). Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah oleh al-Lalika-i (I/98 no. 109).
[18]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa‘ah oleh al-Lalika-i (I/176, no. 317).
[19]. As-Siraajul Wahhaaj fii Bayaanil Minhaaj (hal. 81, no. 166).
[20]. Lihat al-I’tishaam (I/112).
[21]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (XIII/361-362)
[22]. Dinukil dari muqaddimah Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 6-7) oleh Syaikh Khalil Hirras, takhrij Alwi Saqqaf, dengan sedikit tambahan.
[23]. Lihat at-Tamhiid karya Ibnu ‘Abdil Barr (XV/292), tahqiq Usamah bin Ibrahim, Ighaatsatul Lahfaan min Mashaayidhisy Syaithaan (I/313) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq Khalid ‘Abdul Lathif as-Sab’il ‘Alami, cet. Darul Kitab al-‘Arabi, th. 1422 H dan Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar (hal. 73) oleh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani.
[24]. Lihat penjelasannya pada catatan kaki no. 218-221 di halaman 143.