Pendidikan karakter adalah sebuah program sekolah untuk membentuk anak-anak muda secara sistematis dengan nilai-nilai yang diyakini dapat merubah prilaku mereka. Atau dapat pula diartikan sebagai penanaman sifat sopan, sehat, kritis, dan sikap-sikap sosial seperti kewarganegaraan yang dapat diterima masyarakat. (Lockwoot A.T. Charakter Education: Controversy and Consensus, 1988).
Dalam Islam, karakter identik dengan adab yang biasa disebut akhlak, orang bugis menamainya ampe-ampe atau tingkah laku, berupa kecenderungan jiwa untuk bersikap dan bertindak secara otomatis. Adab yang sesuai dengan ajaran Islam disebut akhlaqul karimah atau ampe-ampe madeceng yang hanya dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia Allah -the gift- sebagaimana akhlak para nabi dan rasul. Dan kedua, sebagai hasil usaha pendidikan dan penempahan exercise terhadap jiwa soul. Dengan itu program pendidikan karakter yang kini sedang ditekankan oleh pemerintah pada dasarnya sejalan dengan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlaqul karimah, dan sangat sejalan dengan falsafah orang Bugis, local wisdom.
Selain sifat terpuji, pendidikan karekter pada hakikatnya menanamkan jati diri yang tangguh kepada peserta didik, sehingga ketika baranjak dewasa mereka mampu mempertahankan dan membela kebenaran. Sebagaimana yang telah Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya, beliau membangun karakter yang tangguh sehingga dapat melahirkan pribadi yang mumpuni, salah satunya adalah karakter Umar bin Khattab, yang sebelum masuk Islam merupakan pribadi yang beringas dan tak terkendali, namun ketika menjadi muslim, Rasulullah membangun karakternya, dan berhasil menjadi pemimpin yang ditempatkan oleh M. Harts dalam “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, 1978” pada urutan ke-51 sebagai manusia paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
Semasa menjabat sebagai khalifah, khususnya dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Arab berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Arab telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Arab menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Sungguh aneh jika ada aliran yang menamai diri mereka sebagai pencinta keluarga Nabi ‘Ahlul bait’ lalu melancarkan fitnah yang keji dan biadab terhadap Umar bin Khattab dan menuduhnya sebagai sahabat yang murtad, serta menganggap Rasulullah telah gagal mengajar dan membina para sahabatnya. Aliran inilah yang disebut Syiah-Rafidhah, yang telah disesatkan oleh MUI Jatim dan Depag RI.
Karakter Religius
Sewaktu mengajar di Malaysia, saya memiliki seorang rekan berkebangsaan Turky yang juga berprofesi sebagai guru di tempat yang sama, beliau adalah lulusan Universitas Al-Azhar Mesir dan mantan wartawan BBC, berkali-kali beliau menceritakan bagaimana orang Turky membangun karakter para pemudanya sehingga sanggup bertahan selama berabad-abad sebagai penguasa Dinasti Utsmaniyah yang terbentang dari Timur Asia hingga Barat Eropa.
Salah satu karakter pemimpin yang dibangun dari keluarga dan guru yang memiliki karakter kuat, tangguh, namun salih adalah seorang pahlawan Islam yang tak pernah lekang oleh zaman. Dialah Muhammad al-Fatih.
Muhammad al-Fatih, sosok yang sejak kanak-kanak telah ditanamkan karakter yang kuat dan melekat dalam jiwanya agar kelak dapat menaklukkan Konstantinopel. Gurunya, selain mengajarkan Islam dan pelbagai ilmu pengetahuan lainnya, rajin mengajak al-Fatih kecil memandangi benteng Konstantinopel di kejauhan sambil berujar. “Lihatlah di seberang sana, Rasulullah pernah bersabda bahwa benteng itu akan ditaklukkan seorang pemimpin yang merupakan sebaik-baik pemimpin dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara. Saya percaya pemimpin itu adalah kamu!”
Nyaris setiap hari kata-kata itu dirilis dan akhirnya menumbuhkan karakter yang penuh dengan keyakinan dan semangat yang berapi-api. Sudah delapan abad berlalu, sejak masa sahabat Nabi, Konstantinopel tak pernah tersentuh apalagi tertakluk. Kota yang dikelilingi benteng dengan tembok setebal sepuluh meter, di sekeliling benteng masih terdapat parit dalam yang menganga selebar tujuh meter.
Jika diserang dari arah barat, ada benteng dua lapis. Dari selatan, ada pelaut Genoa yang tangguh dan berpengalaman. Sementara masuk dari arah Timur tidak mungkin karena armada laut harus masuk ke selat Golden Horn yang dilindungi rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak dapat lewat. Ayah dan kakek serta pemimpin perang lainnya telah berkali-kali gagal menaklukkan kota tersebut. Kini al-Fatih kembali mencoba.
Ketika beribu-ribu pasukannya selama berpekan-pekan hanya berada di sekeliling benteng dan tak juga berhasil memasukinya, al-Fatih dengan karakter kuat hasil dari didikan sang guru dan ayah, tak ingin menyerah dan akhirnya menemukan celah, adanya kelemahan pertahanan lawan di selat sempit Golden Horn, mereka beranggapan bahwa tak satu pun kapal yang sanggup melewati rantai yang dipasang dalam laut sehingga menjadikan pertahanan pada bagian ini agak lemah.
Al-Fatih melakukan ide ‘gila’ dengan menggotong kapal pasukannya melalui darat melintasi pegunungan, sebuah sejarah peperangan yang tak perrnah ada sesudah dan sebelumnya bagi umat manusia. Hanya dalam waktu semalam, 70 kapal perang pindah dari laut Selat Bosphorus menuju Selat Tanduk untuk kemudian melancarkan serangan tak terduga yang berakhir dengan kemenangan yang telah dinanti berabad-abad lamanya.
Banyak analisa yang muncul dari para sejarawan, Timur maupun Barat. Namun yang paling berpengaruh dari kesuksesan al-Fatih adalah adanya pendidikan dan penanaman karakter yang tangguh sejak dini. Sang ayah mencarikan guru terbaik dan memberi otoritas penuh pada sang guru untuk mendisiplinkan putra mahkota, termasuk memukul jika ia bandel. Namun al-Fatih kecil menertawakan tindakan ayah dan gurunya itu, tapi saat itu juga pukulan melayang padanya. Sejak saat itu ia tahu jika dirinya harus taat guru, disiplin, menghormati orang tua dan orang lain, menjaga sikap, sekalipun ayahnya seorang khalifah.
Pendidikan karakter yang telah ditanamkan padanya membuat al-Fatih menjadi murid yang cerdas namun salih. Ia menguasai sedikitnya enam bahasa, ilmu politik, pemerintahan, matemattika, pengetahuan alam, ilmu militer, dan lainnya. Saat berumur 19 tahun –masa tawuran bagi para pelajar kita saat ini—beliau sudah didaulat menjadi sultan dan panglima perang dan telah menjadi pribadi yang matang. Pada usia 21 tahun –usia berdemo bagi para mahasiswa kita—al-Fatih menjalankan misi pembebasan konstantinopel yang berhasil dengan gemilang.
Ketika pasukan berhasil menguasai Kota Konstantinopel yang bertepatan dengan hari Jumat. Untuk menentukan siapa yang pantas mengisi khutbah dan menjadi imam salat Jumat, sang Sultan bertanya, “Siapakah yang sejak akil balig hingga hari ini pernah meninggalkan salat wajib lima waktu, yang merasa silahkan duduk!” tak seorang pun yang duduk. Muhammad al-Fatih kembali bertanya, “Siapa yang sejak akil balig sampai hari ini pernah meninggalkan salat sunnat rawatib, yang merasa silahkan duduk!” Sebagian pasukan mulai ada yang duduk. Sultan kembali bertanya, “Siapakah yang sejak akil balig tak pernah alpa melakukan salat tahajjud, yang merasa silahkan duduk!" Semua pasukan mulai duduk kecuali sang sultan sekaligus panglima itu tetap tegak berdiri.
Kota Konstantinopel diubah namanya oleh Al-Fatih dengan Islambul lalu diganti oleh Mustafa Kemal Attarurk dengan Istambul yang kini menjadi ibu kota Turky yang berada di dua Benua, Asia dan Eropa.
Wajar saja jika Rasulullah menggambarkan bahwa yang akan menaklukkan Konstantinopel adalah pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik sebagai buah dari pendidikan karakter religius dan berbasis agama yang sinergi antara anak, guru, orang tua hingga penguasa.Wallahu a’lam!
Galeri Sunnah
Published:
2013-05-16T09:45:00+07:00
Title:Muhammad Al-Fatih dan Pendidikan Karakter
Rating:
5 On
22 reviews